“Cyberwar” Indonesia-Malaysia agar Dihentikan
Jakarta – Kasus Ambalat berbuntut panjang. Seruan perang bahkan sudah didengungkan sebagian kalangan. Nasionalisme mendadak saja tertumpah ruah. Namun untungnya perang Indonesia-Malaysia belum jua pecah. Sayangnya komunitas dunia maya tidak mau ketinggalan, para hacker sudah memulai cyberwar lebih dulu. Di dunia nyata perang boleh saja tak jadi, tapi di dunia maya perang itu justru lebih panas.
Bagi para hacker, aksi deface merupakan makanan sehari-hari yang cukup menantang. Deface di sini berarti mengubah atau mengganti tampilan suatu website. Yang paling umum, deface menggunakan teknik Structure Query Language (SQL) Injection. Teknik ini dianggap sebagai teknik tantangan utama bagi seorang hacker untuk menembus jaringan keamanan sejumlah website.
Teknik lain adalah yang memanfaatkan celah alias hole Cross Server Scripting (XXS) yang ada pada suatu situs. XXS adalah kelemahan aplikasi di server yang memungkinkan user atau pengguna menyisipkan baris-baris perintah lainnya. Biasanya perintah yang disisipkan adalah Javascript , sehingga pembuat hole bisa mendapatkan informasi cookies pengunjung lain yang biasanya berupa user ID dan password.
Makin terkenal sebuah website yang mereka deface, makin tinggi rasa kebanggaan yang didapat. Teknik ini pulalah yang menjadi andalan saat terjadi cyberwar, yakni perang di dunia maya yang identik dengan perusakan website pihak lawan.
Dalam situasi panas Indonesia-Malaysia kali ini, para hacker pun memanfaatkan kesempatan untuk memamerkan kebolehannya. Simak saja yang terjadi pada website milik Malaysia www.jkr.gov.my. Tampilannya diubah dengan latar belakang warna merah dan tulisan warna putih, lambang bendera Indonesia. Tulisan itu berbunyi cukup “garang”. “With respect, In the name of the law, I order you, Malaysian government, please retreat from Indonesian area. Please don’t be too greedy. Indonesia is having bad days recently. The natural disasters, increasing poverty, etc. Your country is much more prosperous than Indonesia. Don’t you be ashamed ? FYI: I’m not a hacker.”
Balasan Malaysia
Bukan hanya website Malaysia saja yang diserang hacker Indonesia. Para hacker Malaysia juga membalas dengan serangan tak kalah gencar. Information Communication Technology (ICT) Watch mendata tak kurang dari 20 website Malaysia yang sudah diobrak-abrik hacker Indonesia. Angka yang sama juga diderita oleh website Indonesia.
Kalau sudah begini, mau tak mau para webmaster alias pembuat website harus mengubah kembali tampilan website mereka dan meningkatkan sistem jaringan keamanan.
Kondisi panas di dunia maya ini bukan hanya mengkhawatirkan para webmaster, namun juga para pakar keamanan jaringan. Tak kurang Budi Rahardjo, pakar keamanan jaringan asal Institut Teknologi Bandung (ITB). Budi yang juga duduk dalam Computer Emergency Response Team (CERT) ini sampai melayangkan postingan ke sejumlah mailing list demi menghimbang agar cyberwar segera dihentikan.
“Saya mengharapkan Anda tidak melakukan penyerangan atau dan pengrusakan situs-situs Indonesia dan Malaysia. Saya mengerti bahwa akhir-akhir ini beberapa masalah di dunia nyata membuat kita kesal dan marah. Namun kekesalan tersebut sebaiknya tidak dilimpahkan ke dunia maya (cyberspace). Semestinya sebelum melakukan aksi yang berdampak negatif, kita bisa melakukan langkah-langkah positif seperti melakukan dialog (melalui email, mailing list, bulletin board, blog, dan media elektronik lainnya),” demikian antara lain seruan Budi.
Kepentingan Masyarakat
Bukan hanya Budi, Dani Firmansyah, cracker yang sempat melakukan deface pada situs Komite Pemilihan Umum (KPU) beberapa waktu silam juga menyerukan agar aksi cyberwar dihentikan. Dani yang kini masih dalam status tahanan mengirimkan seruan ke beberapa milis dengan himbauan serupa.
”Pada akhirnya saya harus mengatakan bahwa saya sangat prihatin atas aksi-aksi di bawah bendera ”e-ganyang” yang saya lihat sudah mengarah kepada perusakan-perusakan situs-situs yang sangat vital bagi kepentingan masyarakat banyak, baik yang berada di Malaysia maupun Indonesia,” demikian himbau lelaki bernama samaran Xnuxer tersebut.
Aksi deface bukan hal baru dalam komunitas internet. Biasanya aksi ini terjadi pada saat situasi politik memanas seperti misalnya Pemilihan Umum (Pemilu), perebutan Timor Timur di masa lampau, juga saat terjadi ketegangan antara Indonesia-Australia. Di tingkatan global, para hacker juga melakukan aksi ini saat terjadi politik panas antara Amerika Serikat (AS)-Irak. Deface ini terkenal pula dengan nama cybergrafitti, yakni aksi coret-moret di website tertentu. Mayoritas aksi ini selalu berbau politis.
Memang tak selamanya aksi ini berbasis nasionalisme, melainkan sekadar kebanggaan dimana seorang hacker merasa puas apabila berhasil membobol suatu keamanan jaringan.
(SH/merry magdalena)
kritik dan saran
waktunya terlalu singkat
dan sangat membingungkan